Oleh : Mey Indriyani Inkiriwang
Mahasiswa Diksatrasia FKIP Unswagati Cirebon
BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI
1.
PENGERTIAN BUNYI BAHASA
Getaran udara
yang yang masuk ke telinga berupa bunyi atau suara, yang dapat terjadi karena
dua benda atau lebih yang bergeseran atau berbenturan. Bunyi bahasa dibuat oleh
manusia untuk mengungkapkan sesuatu, dan dapat terwujud dalam nyanyian atau
dalam tuturan.
1.1 Bunyi
yang Dihasilkan oleh Alat Ucap Manusia
Dalam
pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor yang terlibat, yaitu sumber tenaga
(pernapasan), alat ucap yang menimbulkan getaran, dan rongga pengubah getaran,
dimana bunyi bahasa yang dihasilkan berbeda-beda. Bunyi bahasa yang arus
udaranya keluar melalui mulut disebut bunyi
oral (contohnya [p], [g], [f]), bunyi bahasa yang arus udaranya keluar dari
hidung disebut bunyi sengau / nasal (contohnya
[m], [n], [ñ], [ŋ]). Sedangkan bunyi bahasa yang arus udaranya sebagian keluar
melalui mulut dan sebagian keluar dari hidung disebut bunyi yang disengaukan / dinasalisasi.
Bunyi bersuara
terjadi apabila kedua pita suara berganti-ganti merapat dan merenggang dalam
membentuk bunyi bahasa, bunyi bahasa yang dihasilkan akan terasa “berat”. Bunyi tak bersuara terjadi apabila pita
suara direnggangkan sehingga udara tidak tersekat oleh pita suara, bunyi bahasa
yang dihasikan akan terasa “ringan”. Perbedaan antara keduanya dapat dirasakan
jika menutup kedua lubang telinga rapat-rapat. Disamping itu, pita suara dapat
juga dirapatkan sehingga udara tersekat, bunyi yang dihasilkan disebut bunyi hambat glotal [?].
Macam bunyi bahasa yang kita
hasilkan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya hambatan dalam prosos pembuatannya.
1.2 Vokal dan
Konsonan
Berdasarkan
ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara, bunyi bahasa
dibedakan menjadi dua, yaitu vokal
dan konsonan. Vokal adalah bunyi
bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan
oleh tiga faktor, yaitu tinggi rendahnya posisi lidah (tinggi, sedang, rendah),
bagian lidah yang dinaikkan (depan, tengah, belakang), dan bentuk bibir pada
pembentukkan vokal (vokal bundar atau bukan).
Konsonan adalah
bunyi bahasa yang arus udaranya mengalami rintangan. Pada pelafalan konsonan
ada tiga faktor yang terlibat, yaitu keadaan pita suara, penyentuhan alat ucap,
dan cara alat ucap bersentuhan. Alat ucap yang bergerak untuk membentuk bunyi
bahasa dinamakan artikulator : bibr
bawah, gigi bawah, dan lidah. Sedangkan daerah yang disentuh atau didekati oleh
artikulator dinamakan daerah artikulasi
: bibir atas, gigi atas, gusi atas, langi-langit (keras-lunak), dan anak tekak.
Bunyi konsonan
dapat diperikan berdasarkan artikulator dan daerah artikulasinya. Penamaan
bunyi dilakukan dengan menyebutkan artikulator yang bekerja : labio- (bibir bawah), apiko- (ujung lidah), lamino- (daun lidah), dorso- (belakang lidah), dan radiko- (akar lidah), diikuti oleh
daerah artikulasinya : -labial (bibir
atas), -dental (gigi atas), -alveolar (gusi), -palatal (langit-langit keras), -velar
(langit-langit lunak), -uvular (anak
tekak).
Cara artikulator
menyentuh atau mendekati daerah artikulasi dan bagaimana udara keluar dari
mulut dinamakan cara artikulasi.
Bila udara dari
paru-paru dihambat secara total, maka bunyi yang dihasilkan dinamakan bunyi hambat (contohnya bunyi [p] dan
[b]). Apabila arus udara melewati saluran yang sempit, maka akan terdengar
bunyi desis, disebut bunyi frikatif
(contohnya bunyi [f]). Apabila ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara
keluar melalui samping lidah, disebut bunyi
lateral (contohnya bunyi [l]). Sedangkan apabila ujung lidah menyentuh
tempat yang sama berulang-ulang, disebut bunyi
getar (contohnya bunyi [r]).
1.3 Diftong
Diftong
adalah vokal yang berubah kualitasnya pada saat pengucapan. Diftong biasa
dilambangkan oleh dua huruf vokal yang tidak dapat dipisahkan. Bunyi [aw] pada
kata harimau merupakan diftong,
grafem <au> pada suku kata –mau
tidak dapat dipisahkan menjadi ma-u. Diftong berbeda dengan deretan vokal,
karena dalam deretan vokal dua vokal dapat dipisahkan dalam dua suku kata yang
berbeda, contohnya main → ma-in.
1.4 Gugus
Konsonan
Gugus
konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku
kata yang sama. Jadi, belum tentu deretan dua konsonan atau lebih yang
berdampingan itu merupakan gugus konsonan. Contoh gugus konsonan, bunyi [pr]
pada kata praktik → prak-tik.
1.5 Fonem dan
Grafem
Satuan
bahasa terkecil berupa bunyi atau aspek bunyi bahasa yang membedakan bentuk dan
makna kata dinamakan fonem.
Contohnya bunyi [p] dan [b] → pada kata pagi
dan bagi. Berdasarkan konvensi,
fonem ditulis diantara tanda garis miring : /pagi/, /bagi/. Jika dua bunyi
bahasa secara fonetik mirip, tetapi tidak membedakan kata, maka kedua bunyi itu
disebut alofon dari fonem yang sama
(variasi bunyi).
Fonem
berbeda dengan grafem. Fonem merujuk ke bunyi bahasa, sedangkan grafem merujuk
ke huruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelambangan fonem dalam ejaan. Contohnya,
kata pagi terdiri dari fonem /p/,
/a/, /g/, /i/ dan grafem <p>, <a>, <g>, <i>. Kata hangus terdiri dari fonem /h/, /a/, /ŋ/,
/u/, /s/ dan grafem <h>, <a>, <ng>, <u>, <s>.
Meskipun grafem
melambangkan fonem dalam sistem ejaan, ini tidak berarti bahwa satu grafem
hanya bisa melambangkan satu fonem atau sebaliknya. Contohnya grafem <e>,
melambangkan fonem /e/ pada <bela> dan /ə/ pada <reda>.
1.6 Fonem
Segmental dan Suprasegmental
Fonem
segmental adalah fonem-fonem yang berupa lambang bunyi. Sedangkan fonem
suprasegmental adalah aspek tambahan bunyi yang berupa tekanan, panjang bunyi,
dan nada (ciri suprasegmental), yang dapat membedakan kata dalam suatu bahasa.
Fonem suprasegmental, dalam tulisan, biasanya dinyatakan dengan lambang
diakritik (tanda baca) yang diletakan di atas unsur segmental (lambang bunyi).
Naik turunnya nada dapat membedakan kata dalam suatu bahasa, maka bahasa itu
disebut bahasa tona.
1.7 Suku Kata
Suku
kata adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan napas dan umumnya
terdiri atas beberapa fonem. Pada kata datang,
diucapkan dengan dua hembusan napas: da-
, -tang ( 2 suku kata ).
Suku
kata dalam bahasa Indonesia selalu memiliki vokal yang menjadi inti suku kata,
yang dapat didahului dan diikuti oleh satu konsonan atau lebih. Suku kata juga
dibedakan menjadi suku buka, yaitu suku
kata yang berakhir dengan vokal (K)V contohnya dia → di-a dan suku tutup, yaitu suku kata yang
berakhir dengan konsonan (K)VK contohnya : ambil → am-bil.
2. BUNYI
BAHASA DAN TATA BUNYI BAHASA INDONESIA
Sebagai
akibat masyarakat yang mempunyai bahasa daerah yang beragam, maka bahasa
Indonesia mengenal diasistem, yaitu adanya dua sistem atau lebih dalam tata
bunyi karena tata bunyi sebagian bahasa daerah di Indonesia cukup besar
perbedaannya dengan bahasa Indonesia. Gejala diasistem itu terutama terjadi
karena beberapa fonem dalam bahasa Indonesia merupakan diafonem dalam bahasa
daerah, atau sebaliknya.
2.1 Vokal
dalam Bahasa Indonesia
Dalam
bahasa Indonesia ada enam fonem vokal : /a/, /i/, /e/, /ə/, /u/, dan /o/.
Dengan adanya gejala diasistem yang dapat menampung semua varian fonetis
sebagai pewujud fonem yang sama di dalam posisi yang sama, maka tata bunyi
vokal bahasa Indonesia akan tampak memiliki vokal /a/, /i/, /e/, /u/, dan /o/.
2.1.1 Alofon
Vokal
Tiap
vokal mempunyai alofon atau variasi. Umumnya setiap fonem mengikuti pola :
lidah yang berada pada posisi tertentu bergerak ke atas atau kebawah sehingga posisinya
hampir berhimpitan dengan posisi untuk vokal yang ada di atas atau dibawahnya.
Di bawah ini akan diuraikan alofon fonem berdasarkan sistem lafal ragam bahasa
Indonesia yang biasa diajarkan disekolah-sekolah !
ü Fonem /i/,
mempunyai dua alofon, yaitu [i] dan [I]. Fonem /i/ dilafalkan [i] jika terdapat
pada suku kata buka, atau suku kata tutup yang berakhir dengan fonem /m/, /n/,
atau /ŋ/ dan juga mendapat tekanan yang lebih keras daripada suku kata lain.
Contoh
:
Suku buka : /gi-gi/ [gigi]
Suku tutup : /sim-pang/ [símpaŋ]
Fonem /i/ dilafalkan /I/ jika
terdapat pada suku tutup dan suku ini tidak mendapat tekanan yang lebih keras
dari suku yang lain.
Contoh
:
Suku buka :
ban-ting [bantIŋ]
Suku tutup : sik-sa [síksa]
Jika
tekanan kata berpindah pada /i/, /i/ yang semula dilafalkan [I] akan berubah
menjadi [i]. Contoh : [kírIm] → [kiríman]
ü Fonem /e/,
mempunyai dua alofon, yaitu [e] dan [ε]. Fonem /e/ dilafalkan [e] jika terdapat
pada suku kata buka, dan suku itu tidak diikuti oleh suku yang mengandung
alofon [ε]. Jika suku yang mengikutinya mengandung [ε], /e/ pada suku kata buka
itu juga menjadi [ε] jika terdapat pada suku kata tutup akhir.
Contoh
:
Suku buka : so-re [sore]
Suku
tutup : nenek [nεnε?]
ü Fonem /ə/,
hanya mempunyai satu alofon, yaitu [ə]. Alofon ini terdapat pada suku kata buka
dan suku kata tutup. Contoh : e-nam [ənam].
ü Fonem /u/,
mempunyai dua alofon, yaitu [u] dan [U]. Fonem /u/ dilafalkan [u] jika terdapat
pada suku kata buka, atau suku kata tutup yang berakhir dengan /m/, /n/, atau
/ŋ/ dan suku ini mendapat tekanan yang keras.
Contoh
:
Suku buka : u-pah [upah]
Suku tutup : bung-su [búŋsu]
Jika
/u/ terdapat pada suku tutup dan tidak mendapat tekanan yang keras, fonem /u/
dilafalkan [U] (contoh : wa-rung
[wárUŋ]). Dan jika tekanan kata berpindah, /u/ yang semula dilafalkan
[U] akan menjadi [u] (contoh : [símpul] → [kesimpúlan]).
ü Fonem /a/,
hanya mempunyai sati alofon, yaitu [a]. Contoh : a-kan [akan].
ü Fonem /o/, mempunyai
dua alofon, yaitu [o] dan [○]. Fonem /o/ dilafalkan [o] jika terdapat pada suku
kata buka dan suku itu tidak diikuti oleh suku lain yang mengandung alofon [○].
Fonem /o/ dilafalkan [○] jika terdapat pada suku kata tutup atau suku kata buka
yang diikuti oleh suku kata yang mengandung [○].
Contoh
: Suku buka : to-ko [toko]
Suku tutup : ro-kok [r○k○?]
2.1.2 Diftong
Dalam
bahasa Indonesia terdapat 3 buah diftong, yaitu /ay/, /aw/, dan /oy/ yang
masing-masing dapat dituliskan : ai, au,
dan oi. Ketiga diftong tersebut
bersifat fonemis, dimana kedua huruf vokal pada diftong melambangkan satu bunyi
vokal yang tidak dapat dipisahkan. Contohnya kata harimau → /aw/ /harimaw/ →
ha-ri-mau, termasuk diftong. Berbeda dengan kata mau → /au/ /mau/ → ma-u,
termasuk deretan vokal biasa.
Dengan
masuknya bahasa asing maka muncul diftong /ey/ yang ditulis ei. Diftong ini sering bervariasi dengan
/ay/ pada kata-kata tertentu.
Contohnya : /surfey/ survei
~ /surfay/ survai.
Pada
umumnya, vokal dapat menjadi unsur pertama maupun unsur kedua deretan vokal.
Meskipun demikian, tidak semua vokal dapat berderet dengan vokal lain. Misalnya,
vokal /ə/ hanya dapat berderet dengan vokal lain melalui imbuhan. Vokal /e/ dan
/o/ hanya dapat diikuti oleh vokal tertentu. Dan melalui kaidah fonotaktik,
kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam satu bahasa dan
mana yang tidak, kita dapat merasakan secara intuitif bentuk mana yang
kelihatan seperti kata Indonesia, meskipun belum pernah melihat sebelumnya, dan
bentuk mana yang tampaknya asing.
2.1.3 Cara
Penulisan Vokal Bahasa Indonesia
ü Huruf
a ditulis untuk melambangkan fonem /a/ dengan alofon tunggalnya.
Contoh : /adik/ →
<adik>
ü Huruf
e mewakili dua fonem, yaitu /e/ dan /ə/ beserta alofonnya.
Contoh : /sore/ →
<sore>, /bəsar/ → <besar>
ü Huruf
i dan u dipakai untuk menuliskan fonem /i/ dan /u/ tanpa memperhitungkan
alofonnya.
Contoh : /kita/ →
<kita>, /ulama/ → <ulama>
ü Huruf
o dipakai untuk menuliskan fonem /o/ dengan alofonnya.
ü Huruf
ai, au, dan oi digunakan untuk diftong /ay/, /aw/, dan /oy/.
Contoh : /pantay/ →
<pantai>, /kalaw/ → <kalau>, /koboy/ → <koboi>
2.2 Konsonan
dalam Bahasa Indonesia
Sesuai
dengan artikulasinya, konsonan dalam bahasa Indonesia dikategorikan berdasarkan
tiga faktor, yaitu keadaan pita suara (konsonan bersuara dan tidak bersuara),
daerah artikulasi (konsonan bersifat labial, labiodental, alveolar, palatal,
velar, atau glotal), dan cara artikulasinya (konsonan hambat, frikatif, nasal,
getar, atau lateral). Adapula konsonan yang berwujud semivokal.
Daerah Artikulasi
Cara
Artikulasi
|
Bilabial
|
Labiodental
|
Dental
/ Alveolar
|
Palatal
|
Velar
|
Glotal
|
||
Hambat
|
Tak
bersuara
Bersuara
|
p
d
|
|
t
d
|
|
k
g
|
|
|
Afrikatif
|
Tak
bersuara
Bersuara
|
|
|
|
c
j
|
|
|
|
Frikatif
|
Tak
bersuara
Bersuara
|
|
f
|
s
z
|
š
|
x
|
h
|
|
Nasal
|
Bersuara
|
m
|
|
n
|
ñ
|
ŋ
|
|
|
Getar
|
Bersuara
|
|
|
r
|
|
|
|
|
Lateral
|
Bersuara
|
|
|
l
|
|
|
|
|
Semivokal
|
Bersuara
|
w
|
|
|
y
|
|
|
2.2.1 Alofon
Konsonan
ü Fonem /p/
mempunyai dua alofon, yaitu [p] (alofon lepas) dan [p>] (alofon
tak lepas).
Contoh : [pintu] pintu
[tatap>] tatap
ü Fonem /b/
mempunyai satu alofon, yaitu [b]. Contoh : [baru]
baru
ü Fonem /t/
mempunyai dua alofon, yaitu [t] (alofon lepas) dan [t>] (alofon
tak lepas).
Contoh : [timpa] timpa
[lompat>] lompat
ü Fonem /d/
mempunyai satu alofon, yaitu [d] yang posisinya selalu diawal suku kata. Pada
akhir kata <d> dilafalkan [t>] kecuali jika diikuti oleh
akhiran yang dimulai dengan huruf vokal. Contoh : [duta] duta
[tekat>] tekad
[murtat>] → [kəmurtadan] → kemurtadan
ü Fonem /k/
mempunyai tiga alofon, yaitu [k] (alofon lepas), [k>] (alofon tak
lepas), dan [?] alofon hambat glotal tak bersuara.
Contoh : [kaki] kaki
[pak>sa]
paksa
[tidak>,tida?] tidak
ü Fonem /g/
mempunyai satu alofon, yaitu [g] yang posisinya selalu diawal suku kata.
Pada akhir kata <g> dilafalkan [k>]
kecuali jika diikuti oleh akhiran yang dimulai dengan huruf vokal. Contoh : [gula] gula
[bedUk>] bedug
[ajək>] → [kə?ajəgan]
→keajegan
ü Fonem /f/
mempunyai satu alofon, yaitu [f] yang posisinya selalu diawal atau diakhir suku
kata. Contoh : [arif] arif
ü Fonem /s/
mempunyai satu alofon, yaitu [s] yang posisinya selalu diawal atau diakhir suku
kata. Contoh : [sama] sama
ü Fonem /z/
mempunyai satu alofon, yaitu [z] yang posisinya diawal suku kata.
Contoh : [izIn] izin
ü Fonem /š/
mempunyai satu alofon, yaitu [š] yang posisinya diawal suku kata.
Contoh : [šukur] syukur
ü Fonem /x/
mempunyai satu alofon, yaitu [f] yang posisinya terdapat diawal atau diakhir
suku kata. Contoh : [xas] khas
ü Fonem /h/
mempunyai dua alofon, yaitu [h] (bersuara) dan [ħ] (tak bersuara). Namun pada
kata tertentu /h/ kadang dihilangkan.
Contoh : [hari] hari
[tahu, taħu] tahu
[lihat, liat] lihat
ü Fonem /c/
mempunyai satu alofon, yaitu [c] yang posisinya diawal suku kata.
Contoh : [cari] cari
ü Fonem /j/
mempunyai satu alofon, yaitu [j] yang posisinya diawal suku kata.
Contoh : [juga] juga
ü Fonem /m/, /n/, /ŋ/ mempunyai
satu alofon, yaitu [m], [n], dan [ŋ] yang posisinya selalu diawal atau diakhir
suku kata.
Contoh : [makan] makan
[nakal] nakal
[paŋkal] pangkal
ü Fonem /ñ/
mempunyai satu alofon, yaitu [ñ] yang hanya terdapat diawal suku kata.
Contoh : [ñañian] nyanyian
ü Fonem /r/
mempunyai satu alofon, yaitu [r] yang posisinya selalu diawal atau diakhir suku
kata. Contoh : [raja, Raja] raja
ü Fonem /l/
mempunyai satu alofon, yaitu [l] yang posisinya selalu diawal atau diakhir suku
kata. Dan konsonan rangkap ll pada Allah dilafalkan sebagai [ł].
Contoh : [lama] lama
ü Fonem /w/
mempunyai satu alofon, yaitu [w] yang posisinya diawal suku kata, tapi pada akhir
suku kata [w] berfungsi sebagai bagian diftong.
Contoh : [wak>tu] waktu
[kalaw] kalau
ü Fonem /y/
mempunyai satu alofon, yaitu [y] yang posisinya diawal suku kata, tapi pada
akhir suku kata [y] berfungsi sebagai bagian diftong.
Contoh : [yakIn] yakin
[ramay] ramai
2.2.2
Struktur Suku Kata, Kata, dan Gugus Konsonan
Kata
dalam bahasa Indonesia terdiri atas satu suku kata atau lebih. Betapa pun
panjangnya suatu kata, wujud suku yang membentuknya mempunyai struktur dan
kaidah pembentukan yang sederhana. Berikut ini ada sebelas macam suku kata
beserta contohnya !
1.
V a-mal, su-a-tu, tu-a
2. VK ar-ti, ber-il-mu, ka-il
3. KV pa-sar, war-ga
4. KVK pak-sa, ke-per-lu-an, pe-san
5. KVKK teks-til, mo-dern
6. KVKKK korps
7. KKV slo-gan, dra-ma
8. KKVK trak-tor, kon-trak
9. KKKV stra-te-gi, stra-ta
10. KKKVK struk-tur
11. KKVKK kom-pleks
Bahasa
Indonesia tidak memiliki gugus konsonan rangkap pada akhir suku. Karena itu,
bahasa asing yang memiliki ciri tersebut dan dipakai dalam bahasa Indonesia
sering disesuaikan dengan kata umum bahasa Indonesia, dengan menyisipkan vokal
dalam ucapannya atau menghilangkan salah satu konsonannya.
Jika
dua konsonan terdapat dalam satu suku kata yang sama, konsonan yang pertama
terbatas pada konsonan hambat /p, b, t, d, k, g/ dan konsonan frikatif /f, s/,
sedangkan konsonan kedua terbatas pada konsonan /r/ atau /l, w, s, m, n, f, t,
k/.
Jika
tiga konsonan berderet dalam satu suku kata, konsonan yang pertama selalu /s/,
yang kedua /t/, /p/, atau /k/ dan yang ketiga /r/ atau /l/. Seperti halnya
dengan sistem vokal yang mempunyai diftong dan deretan vokal biasa, sistem
konsonan juga memiliki deretan konsonan biasa.
2.2.3
Pemenggalan Kata
Pemenggalan
kata berhubungan dengan kata sebagai satuan tulisan, sedangkan penyukuan kata
bertalian dengan kata sebagai satuan bunyi bahasa. Pemenggalan tidak selalu berpedoman
pada lafal kata. Faktor lain dalam pemenggalan kata yang juga sangat penting
adalah kesatuan pernafasan pada kata tersebut yang juga mencakup urutan vokal
dan imbuhan (awalan-akhiran).
Kita
juga harus menghindari pemenggalan pada akhir kata yang hanya terdiri atas satu
huruf saja karena akan menimbulkan kesan janggal (contohnya kata meliputi dapat dipenggal menjadi
me-liputi, bukan meliput-i).
Contoh : abdimu
→ ab-dimu, abdi-mu
berarti → ber-arti, berar-ti
kebanyakan
→ ke-banyakan, kebanyak-an
2.3 Ciri Suprasegmental dalam Bahasa Indonesia
Suatu
fonem biasanya terwujud bersama-sama dengan ciri suprasegmental, seperti tekanan, panjang bunyi, dan nada. Ada pula ciri suprasegmental yang
lain, yaitu intonasi dan ritme.
Suatu kata dapat
diberi penonjolan pada satu suku katanya dengan cara memperpanjang
pengucapannya, meninggikan nada, atau memperbesar tenaga atau intensitas.
Gejala ini dinamakan tekanan.
Dalam
bahasa-bahasa tertentu ciri suprasegmental ini dapat mempengaruhi arti kata
dengan cara memindahkan letaknya.berbeda dengan bahasa Indonesia, letak tekanan
bahasa Indonesia teratur, jatuh pada suku kata sebelum yang terakhir, dan
apabila suku kedua dari akhir mengandung bunyi /ə/, tekanan akan ditempatkan pada
suku akhir.
Dalam kalimat
tidak semua kata mendapat tekanan yang sama, hanya yang dianggap penting saja.
Tekanan seperti itu disebut aksen. Aksen tidak hanya ditentukan oleh tekanan,
tetapi juga oleh faktor jangka dan nada. Sebuah suku kata lebih menonjol
(mendapat aksen) apabila dilafalkan dengan waktu yang lebih panjang dan dengan
nada yang relatif lebih tinggi dari suku kata yang lain.
Dalam tuturan
ada jeda yang menandakan batas antar kata atau kalimat. Ada pula intonasi yang lebih
mengacu pada naik turunnya nada dalam pelafalan kalimat, dan ritme yang mengacu pada pola pemberian
tekanan pada kata dalam kalimat.
2.3.1 Peranan
Ciri Suprasegmental
Dalam
bahasa tulisan, tanda baca mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat
membedakan arti dari suatu klausa yang terdiri dari kata yang sama. Misalnya
jika suatu klausa diikuti dengan tanda titik (.) maka akan menyatakan
pernyataan, sedangkan jika klausa dengan kata yang sama diikuti dengan tanda
tanya (?) maka akan menyatakan pertanyaan.
Contoh : Dia dapat pergi.
Dia dapat pergi ?
Dalam
bahasa lisan tidak ditemui tanda baca. Maka dari itu, cara pengucapan kata dan
kalimat sangat penting. Intonasi menurun menyatakan pernyataan, dan intonasi
naik menyatakan pertanyaan. Ada pula penggunaan aksen yang harus diperhatikan,
karena makna dari kalimat tersebut akan mengandung informasi yang berbeda.
Pada
tataran kata, tekanan, jangka, dan nada dalam bahasa Indonesia tidak berperan
sebagai pembeda makna. Namun, pelafalan kata yang menyimpang dalam hal tersebut
akan terasa janggal.
2.3.2
Intonasi dan Ritme
Ritme
adalah pola pemberian aksen pada kata dalam untaian tuturan (kalimat) yang
dilakukan dengan selang waktu yang sama untuk beberapa bahasa dan dengan selang
waktu yang berneda untuk beberapa bahasa yang lain. Dalam bahasa Inggris,
mengikuti ritme yang berdasarkan jangka waktu. Sedangkan dalam bahasa Indonesia
mengikuti ritme yang berdasarkan jumlah suku kata. Makin banyak suku kata,
makin lama pula waktu pelafalannya.
Intonasi
adalah urutan pengubahan nada dalam untaian tuturan yang ada dalam suatu
bahasa. Pola pengubahan nada itu membagi suatu tuturan (kaliamat) dalam satuan
yang secara gramatikal bermakna. Dan tiap-tiap pola itu menyatakan informasi
sintaksis tersendiri.
Bagian
kalimat tempat berlakunya suatu pola perubahan nada tertentu disebut kelompok tona. Pada setiap kelompok
tona terdapat satu suku kata yang terdengar menonjol yang menyebabkan
terjadinya perubahan nada, suku kata itulah yang mendapatkan aksen.
Suku
kata yang mendapat aksen dalam kelompok tona tidak dapat diramalkan karena
sangat bergantung apa yang dianggap paling penting oleh pembicara. Pada umumnya
sebutan tidak akan menerima aksen, aksen biasanya diberikan pada pokok
pembicaraan (topik).
Pola
intonasi dapat juga mengalami topikalisasi,
yaitu pengutamaan bagian kalimat yang dikontraskan dengan keterangannya.
Sangat bermanfaat sobat admin. Salam semangat belajar dan membaca sepanjang masa ya? Hehe... :)
BalasHapusTerima kasih atas ilmunya.
BalasHapussangat bermanfaat.
Tolong bantu saya mbak mas , Transkrip dari kata
BalasHapusTenggorokan :
- Silobal :
- Konsonan :
Tolong bantu saya mbak mas , Transkrip dari kata
BalasHapusTenggorokan :
- Silobal :
- Konsonan :
apa istilahnya jika kumulan huruf konsonan dituliskan menjadi kata berdasar bunyi bacanya..
BalasHapusmisal. kk menjadi kaka
dt menjadi dete
rn menjadi eren
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus