LHO KOK !?
Seorang pemuda dengan gitar ditangannya tengah mengalunkan sebuah lagu yang
terdengar sangat indah diatas sebuah bis. Lagu yang dibawakannya terasa sangat
romantis untuk dinyanyikan disaat turun hujan seperti saat ini. Hemmm... lagu
ini adalah lagu favorite-ku. Maka tak
heran, dari tadi aku sangat menikmatinya, menikmati suara merdu sang penyanyi
dan dentingan gitarnya sembari membiarkan lamunanku menerawang jauh.
Para penumpang bis yang juga sibuk dengan pikiran dan lamunannya
masing-masing menoleh sebentar kearah pemuda itu sebelum akhirnya mereka semua
melanjutkan kembali lamunannya.
Sama seperti penumpang lainnya, aku pun hanya sekilas memperhatikan tubuh
yang sedang berdiri di muka bis tersebut. Tak ada yang istimewa dari pemuda
itu. Penampilannya yang terlihat kumal ditambah dengan kaos oblong dan topinya
yang sudah dekil, membuatnya tampak sangat lusuh. Hanya saja suara dan
permainan gitarnya itu yang membuat aku tertarik untuk lebih memperhatikannya
lagi.
“ Permisi, mbak, “ tiba-tiba suara pemuda itu menyadarkanku dari lamunan.
Dilepaskan penutup kepalanya yang sudah dekil itu dan segera disodorkannya
padaku. Saat itu aku baru ngeh kalau
lagu indah yang dibawakannya telah selesai dia nyanyikan. Aku merogoh saku
kemejaku, lalu kumasukkan selembar uang seribu rupiahan ke dalam topi bututnya.
“ Terima kasih, ” ucapnya lagi sambil tersenyum memamerkan lesung pipinya,
lalu beranjak dari tempatnya tadi berdiri.
Aku masih terus memperhatikan sosok lelaki itu. Orang ini... Rasa-rasanya
sosok yang kulihat ini tak asing lagi bagiku. Seorang pemuda yang walaupun
tampak kacau namun masih dapat terlihat jelas kalau sebenarnya dia itu manis,
apalagi senyuman itu... Pemuda manis dengan lesung pipi. Tiba-tiba aku seperti
teringat akan sesuatu... Ya, aku tahu! Adit. Dia adalah orang yang pernah satu
sekolah denganku, saat di SMA dulu.
Tak berapa lama kemudian, bis yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah
halte. Lagi-lagi aku sampai tidak sadar kalau itu adalah tempat tujuan
pemberhentianku. Sial! Hujan di luar sana masih juga belum reda, malah semakin
deras. Aku pun segera bersiap-siap untuk menerobos derasnya hujan itu.
“ Turun disini, mbak? “ lagi-lagi suara itu muncul tiba-tiba.
“ Emm, eh, iya, “ jawabku kaget.
“ Mari! “ pemuda itu merentangkan jaket kulitnya di atas kepalaku yang
entah dari mana asalnya, karena setahuku tadi dia tidak membawanya. Kemudian
kami berdua pun turun dari bis dan berjalan berdampingan menuju sebuah halte.
Di halte itu kami berteduh dan berlindung dari terpaan air hujan.
“ Makasih ya, Dit, “ ucapku singkat membuka pembicaraan. Sengaja saat itu
ku sebut namanya, habis bagaimana lagi... aku sendiri merasa penasaran dengan
apa yang ku lihat. Apa benar dia Adit yang ku kenal?
Mendengar ucapanku, pemuda itu menatap ke arahku dan tersenyum. Lagi-lagi
dia memamerkan lesung pipinya yang memang sangat manis.
“ Sama-sama, mbak Indy, “ jawabnya perlahan.
What ? Dia tahu namaku. Berarti dia benar Adit yang aku kenal. Rasa penasaranku
akan sosok ini pun akhirnya terjawab. Ups... tapi kini aku malah jadi serba
salah dan salah tingkah...
Beberapa menit
berlalu tanpa ada yang bersuara. Hening.
Dari ekor mataku, ku lihat Adit
sedang memperhatikan ke arahku. Deg! Aku jadi tambah salah tingkah.
“ Emh... Apa kabar mbak? “ Adit mencoba memecahkan keheningan. Tapi
suaranya terdengar samar karena derasnya hujan.
“ Baik. Kamu gimana? “ jawabku dengan volume suara yang agak diperbesar.
Aduh... Kata-kata
yang keluar dari mulutku malah terdengar norak dan basa basi.
“ Aku baik, “ ucap Adit singkat.
Setelah berbasa-basi akhirnya pertemuan kita harus berakhir. Karena...
“ Terminal, terminal!! “ terdengar
suara seorang kondektur bis yang berbaur dengan bunyi derasnya hujan.
“ Yuk, Dit, duluan, “ ucapku pamit.
“ Mbak naik ini? “ tanya Adit setengah berteriak.
“ Hati-hati ya
mbak! “
Aku melambaikan
tangan dan berlari menuju bis.
Hemft! pertemuan yang tak terduga
dengan makhluk manis dalam bis itu membuatku kembali mengingat-ingat lagi
kejadian 2 tahun lalu, dimana saat itu aku masih mengenakan seragam putih
abu-abu. Dan disaat yang sama pula Adit ternyata adalah adik kelasku.
Seingatku, Adit adalah sosok yang cukup populer di lingkungan sekolah.
Tidak hanya karena dia adalah anak dari seorang pengusaha kaya yang juga jadi donatur
tetap di sekolah, tapi karena dia juga punya otak yang bisa dibilang encer.
Ditambah lagi physically-nya yang oke
punya... membuat Adit tambah TOP di sekolah. Wataknya yang ramah membuatnya
bisa dekat dengan siapa saja. Termasuk aku yang nota bene kakak kelasnya.
Mungkin dari semua yang aku ingat,
ada satu hal yang paling berkesan. Bila mengingat kejadian itu, aku jadi merasa
geli sendiri. Lucu. Saat dimana Adit tiba-tiba mengungkapkan cintanya padaku.
Aku bingung dan terheran-heran. Seorang Adit yang sangat kalem bisa berbuat
senekat itu untuk nembak aku.
“ Aduh, Dit, maaf. Mungkin kalau
kamu minta mbak jadi kakak kamu, mbak mau. Tapi buat jadi cewek kamu, kayaknya enggak deh... “ Mungkin hanya itu yang bisa aku katakan pada Adit waktu itu.
Karena aku sendiri tidak tahu pasti kenapa Adit bisa begitu menyukaiku dan
ingin aku jadi pacarnya. Yang aku tahu, dia adalah adik kelasku yang aku anggap
seperti adikku sendiri. Cuma itu.
“ Kenapa ? Karena aku lebih muda
dari mbak? “
“ Mungkin iya, “ jawabku singkat.
Aku takut Adit yang saat itu masih polos salah menilai semua bentuk
perhatianku.
“ Aku terima keputusan mbak, “ ucap Adit lagi. Aku sempat merasa kaget
dengan ucapannya kali ini, karena dari sorot matanya terdapat kesungguhan yang
dalam. “ Suatu saat aku akan buktikan sama mbak kalau aku bisa jadi orang yang
mbak mau. Aku bisa jadi orang yang mandiri dan bertanggung jawab. “
Setelah kejadian itu, aku jadi jarang bertemu Adit. Apalagi waktu itu aku
mulai disibukkan dengan ujian kelulusan. Hingga akhirnya aku lulus dan harus
benar-benar tak bertemu lagi dengan Adit.
Ada sedikit perasaan bersalah pada Adit waktu itu. Aku takut dia marah dan
kecewa. Tapi memang saat itu aku tak tahu harus bagaimana... Mungkin bukan
salah Adit juga bisa senekat itu. Soalnya, kata orang, cinta itu aneh. Cinta
itu buta dan gak punya mata. Makanya,
cinta bisa datang pada siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
“ Indy, ada teman kamu tuh di depan! “ Suara bunda memanggil.
Siapa sih yang
datang pagi-pagi begini... Apa dirumahnya gak
punya jam!? Aku tengok jam besar yang terpasang di dinding kamarku, baru pukul
6 pagi. Huahh!?
“ Selamat pagi, mbak! “ sapa seorang
lelaki lembut ketika pintu terbuka.
“ Adit!? “ ucapku kaget.
Adit pagi ini berbeda sekali dengan Adit yang kemarin. Pakaiannya begitu
rapi, harum dan bersih. Dengan penampilannya yang sekarang, Adit jadi seratus
kali lebih keren. Degh! Jantungku tiba-tiba berdegub kencang. Timbul perasaan
aneh ketika aku melihat senyumnya. Senyum yang selalu membuatku iri, karena
terlalu manis untuk seorang cowok.
“ Hello!? “ Adit melambai-lambaikan
tangannya di depan wajahku yang sedang terbengong-bengong mengagumi ciptaan
Tuhan yang satu ini.
“ Eh, kenapa? “ tanyaku blo’on.
Adit terkekeh
melihat ekspresiku yang gak banget itu.
Aduh biyung... malu banget deh ! Kayaknya wajahku kini mulai memerah, lebih
merah dari udang rebus.
“ Hari ini mbak gak ada kuliah kan?
Keluar yuk! “ Tanpa ber-ba-bi-bu aku meng-iya-kan ajakan Adit. Seharian kita
habiskan waktu bersama. Makan-makan, jalan-jalan, dan berbincang-bincang.
Seharian ini pula aku kerepotan sendiri mengatur perasaanku. Apa aku mulai
menyukai Adit? Apa aku jatuh cinta padanya?
Oh my God! Ternyata
kata orang tentang cinta itu benar. Cinta itu aneh. Cinta itu buta dan gak punya mata. Cinta bisa datang pada
siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Ternyata hanya dalam hitungan jam aku
bisa merasakan yang namanya jatuh cinta. Dan rasanya sekarang di hatiku tumbuh
taman bunga... Karena hari ini begitu indah.
“ Mbak, ingat gak kejadian 2 tahun
yang lalu? “ Adit membuka pembicaraan setibanya di depan rumahku. Pertanyaan
itu membuat darahku mengalir dengan derasnya. Membuat jantungku seakan
meloncat-loncat. Apa Adit mau mengulang peristiwa tempo lalu ? Adit mau nembak aku lagi? Kalau iya, apa aku harus memberikan jawaban
yang sama pula seperti tempo lalu? Mengingat perasaanku sekarang, mungkin
tidak.
“ Ooo... itu. Kenapa? “ ucapku coba
menenangkan perasaan, seolah tak terjadi apa-apa.
“ Sekarang, aku sudah membuktikan
ucapanku kan? Aku bisa mengambil keputusan terbesar dalam hidupku. Aku bisa
bersikap dewasa, mandiri, dan bertanggung jawab, paling tidak untuk diriku
sendiri. Aku bisa kuliah dan membiayai kuliahku sendiri. Disamping itu, aku
juga bisa tetap menyalurkan hobiku menyanyi, walaupun hanya sebatas penyanyi
jalanan. Tapi aku bahagia. “ ucap Adit berpanjang lebar. Dari raut mukanya,
Adit terlihat sangat serius, tak ada lagi sikap kekanak-kanakan seperti 2 tahun
yang lalu.
“ Kalau Adit
menyatakan cinta lagi sama mbak, seperti dulu. Adit yakin mbak bisa
menerimanya. Kenapa? Karena sekarang Adit bisa jadi orang yang mbak mau, “
ucapnya lagi.
“ Tapi, mbak
benar, mungkin Adit lebih cocok jadi adiknya mbak, daripada seorang pacar.
Tidak ada status mantan dalam persaudaraan. Beda dengan pacaran. Karena Adit
ingin selalu bisa mencintai dan menyayangi mbak dan Adit juga gak mau
kehilangan mbak untuk kedua kalinya. “
“ ??? “ Glek!!! Rasanya jantungku kini benar-benar
terlepas dari tempatnya.
Lho koq ???
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar